
Seperti biasa, aku pulang naik bis. Dari kost naik bis kota ke terminal. Ketidaknyamanan sudah mulai terasa dengan munculnya asap rokok dari penumpang, maklum dadaku ini rasanya sesak klo deket-deket sama orang merokok. Untung saja sang sopir tidak menunjukkan tanda-tanda akan merokok.
Sampai di terminal bus, orang-orang yang merokok lebih banyak saya jumpai yang mayoritas adalah sopir bus, pedagang, dan juga para pengamen. Padahal tahu sendiri lah MUI sudah memberikan fatwa dilarang merokok tapi sepertinya tidak berpengaruh banyak. “Ya, Allah sadarkanlah saudara-saudara ku agar mereka mau mendengarkan ulama mereka, dan jika mereka membantah ulama mereka maka jadikanlah mereka orang yang membantah dengan menggunakan dalil dari-Mu bukan karena keinginan semata”.

Di Indonesia ini, merokok dimana-mana sepertinya sudah merupakan budaya. Entahlah, karena sebuah kebanggaan atau apa saya kurang mengerti alasan pasti kenapa orang merokok. Saya sendiri kalau sampai saya merokok, saya tidak bisa membayangkan betapa akan marahnya ibu saya. Mungkin ibu akan bilang “lebih baik kamu bantu anak yatim piatu saja daripada buang-buang uang hanya untuk merusak dirimu sendiri”.
Suatu hal yang aneh ketika seorang ada tukang becak mengeluh tentang biaya sekolah anaknya akan tetapi saya melihat dia merokok ketika berbicara masalah itu. Lawong buang-buang duwit saja bisa masak menyekolahkan anaknya saja kok begitu susahnya. Para penduduk miskin begitu tersiksanya akan semakin runyamnya ekonomi negeri kita pun masih tetap selalu memegang rokok ditangannya. Bayangkan saja kalau setiap hari pengeluaran rokok sebeaar 2000 per orang (asumsi mungkin habis antara 2-4 rokok per hari). Maka 30 hari uang yang dihabiskan untuk merokok adalah 60 ribu dan dalam satu tahun adalah 720 ribu.

Dengan modal yang dikumpulkan bertahun-tahun mereka bisa memulai untuk usaha yang lebih baik setidaknya ada usaha sampingan untuk memperbaiki roda ekonominya. Memang benar, kesabaran itu mahal harganya. Saya ingat sekali dulu ketika saya masuk kuliah tidak punya apa-apa. Semester satu saya hanya bisa membeli buku konsep pemrograman itupun dari pasar shopping yang harganya terkenal miring. Selebihnya saya mengandalkan fasilitas kampus. Sedikit demi sedikit saya sisihkan perharinya dan dengan tambahan uang beasiswa saya bisa membeli seperangkat komputer dengan harga 3 juta waktu itu. Begitu senangnya saya akhirnya bisa membeli komputer setelah satu setengah tahun berjuang.
Terlalu banyak mengeluh, inilah mungkin faktor yang membuat orang tidak sadar akan potensi dirinya sendiri. Bahwa dengan ketekunan dia bisa menjadi lebih baik. Pepatah bilang, batu yang keras sekalipun bisa dikalahkan oleh air yang menetes padanya terus menerus.
Semoga para penduduk miskin menyadari kesalahannya dengan langkah awal berhenti merokok untuk kehidupan yang lebih baik. Untuk memberi kesempatan anak-anak mereka agar bisa mendapatkan modal yang lebih baik menghadapi hari esok.
2 komentar:
agree..... top markotp, trims sumbangan pemikirannya, kagum ma pemikiran pean jadi pengin lebih deket ma pean .. boleh g..?
farerafaried@yahoo.com
www.malangrayabroiler.blogspot.com
rieds_broiler@yahoo.com
klo mo add atau tanya-tanya ym aja ke sinichi_te022002@yahoo.com, ym aja jangan email ke situ soalnya bisa kelewat (kebanyakan email masuk)
Posting Komentar