Swasembada beras dan kesejahteraan petani

Sabtu, 14 Maret 2009

Swasembada beras dan kesejahteraan petani

Pernah dengan semboyan “Kita Swasembada Beras, Kesejahteraan Petani Meningkat” ?. Sebagai seorang anak petani saya ingin angkat bicara dalam hal ini. Semboyan tersebut bisa jadi salah dan bisa jadi benar karena pada kenyataannya swasembada beras tidak mesti berbanding lurus dengan kesejahteraan petani.
Suatu Negara dikatakan swasembada beras jika 90% kebutuhan beras terpenuhi sepeti yang dikatakan oleh Mentan Kita Anton Apriyantono. Sebenarnya swasembada beras ini sudah dicapai pada tahun 2004 pada masa kepemimpinan Megawati (saya tidak kampanye lho) dan produksi beras negeri kita meningkat pada tahun 2005 dan 2006 sehingga bisa memenuhi pasokan hingga 99%.

Lho kok katanya gonta-ganti menteri baru kali ini kita swasembada beras ?. Kalau ini sih mungkin maksudnya adalah pengakuan dunia bahwa Indonesia sudah swasem
bada beras karena memang Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Menteri Pertanian Republik Indonesia, Dr. Anton Apriyantono, tampil sebagai pembicara panel bersama Komisioner Pertanian dan Pengembangan Wilayah, Uni Eropa, Mariann Fisher Boel, Menteri Pertanian Cina, Chen Xiao Hua, Menteri Pangan, Pertanian dan Perlindungan Konsumen, Jerman, Ilse Aigner, dan Menteri Pertanian Rusia, Alexej W. Gordejev pada 2nd International Conference of Agriculture Ministers di Arena Pameran dan Forum Internasional Gruene Woche (Green Week) di Berlin, tanggal 17 Januari 2009.

Kembali ke topic. Apa hubungannya kesejahteraan petani dengan swaembada beras ?.
Swasembada beras bisa dicapai dengan dua cara : yaitu peningkatan jumlah lahan pertanian dan peningkatan hasil pro
duksi dari lahan yang sama dengan biaya yang sama atau mungkin lebih akan tetapi hasil yang dihasilkan melebihi dari sebelumnya.
Jadi masalahnya sekarang swasembada pangan dicapai dengan cara apa. Kalau menggunakan cara yang kedua maka swasembada pangan juga akan meningkatkan kesejahteraan petani.

Ayah saya adalah potret salah seorang petani meskipun tidak menggambarkan keseluruhan bagaimana keadaan petani di negeri ini. Ayah saya masih beruntung. Sawah hampir setengah hektar saya sewa selama satu tahun dengan uang dari saya (3 juta) dan biaya mulai dari bibit sampai panen saya yang tanggung (menurut kalkulasi saya hampir 5 jutaan) dan begitu panen hasilnya hanya laku total 6.5 juta. Jadi keuntungan bersih ayah saya 6.5 – 5 – 0.75 (1/4 tahun) = 750 ribu dibagi 3 bulan waktu diperlukan untuk bibit hingga panen penghasilan ayah saya 250 ribu per bulan.

Kenapa biaya begitu membengkak. Masalah utama yang terkendala adalah pupuk. Saya selalu dibingungkan dengan pupuk yang langka. Subsidi dari pemerintah memang ada akan tetapi sepertinya entah mungkin ada kecurangan dalam distribusinya sehingga sampai kebawah tetap saja langka hingga akhirnya sebagian saya harus beli pupuk dari luar dengan harga jauh lebih mahal yang ternyata kualitasnya tidak sebagus subsidi pemerintah (saya cek di sawah ayah saya).

Alhamdulillah lurah di desa kami sigap menangani masalah distribusi pupuk ini dan beliau sendiri yang mengatur pembagian pupuk ini dari mengusahakan supply hingga ke petani untuk masa berikutnya (awal maret ini). Moga dengan adanya sistem ini pengeluaran untuk biaya pupuk bisa ditekan dan penghasilan ayah saya meningkat.
Semoga pemerintah kita di masa yang akan datang bisa lebih baik lagi dalam usaha distribusi pupuk maupun usaha-usaha alternatif untuk memenuhi kebutuhan pupuk petani.

Tidak ada komentar: