Do You know about Mirza in love ? apa ya kira-kira hubungan tulisan ini sama judulnya ?. Sekarang aku bercerita tentang kehidupan suram Mirza Ghulam Ahmad, nabi palsu yang akhirnya mati dengan cara yang tragis.
Kita mulai dari kisah cinta Mirza Ghulam Ahmad. Abdullah Hasan Alhadar, dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang bulat Dipanggung Sejarah, menuliskan kisah itu dengan judul ‘love Affair Mirza’. Dia menyebutnya ‘kisah 1001 malam’ dengan MGA sebagai majnunnya. Roman ini, mulanya ditulis oleh penulis india, Sheikh Abu Bakar Najar, dalam risalah Do You Know About Mirza in Love?
Alkisah, pada suatu hari, MGA yang sudah sakit-sakitan akibat diabetes, vertigo, gangguan penglihatan, dan lain-lain, melihat gadis bernama Muhammadi Begum. Dia putri paman ibu Mirza, Mirza Ahmad Beg. Jatuh cinta, MGA, yang telah beristri dua, melamar gadis itu. Tapi betapa terkejutnya nabi Mirza, karena lamarannya ditolak.
Buntutnya, MGA mengumumkan ‘wahyu’ yang susul-menyusul. Mulai yang berkonten persuasif, hingga mengancam dan mengultimatum. Tadzkirah hlm 157 menyatakan: “maka Allah menyatakan kepadaku, hendaklah engkau melamar perempuannya yang paling besar untukmu, dan katakanlah kepadanya (Ahmad Beg) agar dia menjadikan engkau sebagai menantu lebih dahulu….dan jika engkau tidak menerima (lamaranku) maka ketahuilah bahwa Allah telah mengabarkan kepadaku bahwa (kalau kamu) menikahkan anakmu dengan laki-laki lain, maka tidak diberkahi dan juga kepadamu (ahmad Beg). Dan jika kamu merasa takut, maka akan ditimpakan kepadamu bencana-bencana. Dan bencana yang paling akhir adalah kematianmu, kamu akan mati setelah pernikahan itu tiga tahun bahkan kematian itu lebih dekat, dan mati itu akan datang sedang kamu dalam keadaan lalai. Begitu pula suaminya akan mati setelah dua tahun enam bulan….”
Dalam Izalatil Auham hlm.396, Mirza mengumumkan ‘wahyu’: “Bahwa putri Ahmad Beg akan menjadi salah seorang istrinya, tetapi keluarganya akan menentangmu dan akan berusaha supaya perkawinanmu tidak terlaksana. Tapi jangan khawatir karena Allah akan memenuhi janjinya dan menyerahkan putri itu padamu, dan tak ada seorang pun sanggup menghalangi apa yang menjadi kehendak Allah.”
Karena orang tua gadis iut tak terpengaruh, turun lagi wahyu seperti tertulis di Asmani Risalat hlm 40: “Aku Allah telah menikahkan gadis itu padamu, hai mirza! Tak ada perubahan atas kata-kata-Ku….”
Di kitab Tukhfah Baghdad hlm. 28, MGA juga menulis wahyu: “bergembiralah engkau hai Mirza, bahwa Aku menikahkan engkau dan Aku telah kawinkan gadis itu dengan engkau.”
Karena wahyu-wahyu itu tak kesampaian, masyarakat mulai mengolog-olog MGA. MGA mengumumkan lalu ‘wahyu’ yang tercatat di Dafa Elwathawis hlm 228: “Biarlah mereka yang mengingkari kebenaran akan diperingatkan dan menyesali diri mereka, demikian ramalanku pasti tepat.”
‘wahyu’ terus turun, tapi Ahmad Beg memutuskan menikahkan putrinya dengan seorang pemuda, sultan Muhammad, MGA lalu menulis surat berisi permohonan dan peringatan yang dikirimkan kepada sejumlah keluarga gadis itu. Tapi, penolakan tak berkurang.
Bahkan, istri anaknya, juga menolak. Buntutnya, MGA meminta anaknya, Mirza Fadl menceraikan istrinya. Putra lainnya yang tidak menyukai cara-cara ayahnya, dihardik oleh Mirza dan tidak diberi hak waris. Peristiwa ini tertulis di Seeratul Mahdi hlm 22.
Pad 7 April 1892, ketika pengikut-pengikut MGA sedang asyik berdoa di masjid agar perkawinan batal, diluar masjid terjadi keramaian. Resepsi pernikahan Muhammadi dengan Sultan sedang berlangsung.
Meresponsnya, turun lagi ‘wahyu’ yang tercatat di Tadzkirah hlm 160-161: “ Sesungguhnya dia akan dijadikan seorang janda, dan suaminya serta bapaknya akan mati tiga tahun kemudian setelah hari pernikahan. Kemudian kami akan mengembalikannya kepadamu setelah kematian mereka berdua…”
Waktu terus bergulir. Sembilan tahun sudah usia pernikahan Muhammadi-sultan, dan tak terjadi apa-apa. Pada 1 Agustus 1901, MGA meunlis diharian Al Hakam Vol 5 No 29: Sesungguhnya gadis ini belum menjadi istriku, namun demikian jangan kira aku tidak akan mengawininya. Sebagaimana aku telah katakan sebelumnya. Dan barang siapa mencemooh aku, akan mendapat malu. Karena gadis ini masih hidup maka ia akan menemui aku dalam suatu perkawinan yang akan datang.”
Tahun 1908, MGA meninggal saat sedang di dalam WC (untuk buang air besar). Dia mengeluarkan semacam busa dari mulutnya. Seperti kita ketahui bawah para Nabi dan Rasul dikubur ditempat meninggalnya. Kalau Mirza Ghulam Ahmat itu nabi kira-kira gimana ya kalau dia dikubur di WC gitu ?. Adapun Muhammadi dan Sultan, tetap hidup. Bahkan Sultan ikut perang Dunia I. Dia memang mendapat luka-luka , tapi sembuh dan hidup bahagia bersama istrinya.
(diambil dari ahsinmuslim.wordpress.com dengan tambahan)
Kita mulai dari kisah cinta Mirza Ghulam Ahmad. Abdullah Hasan Alhadar, dalam bukunya Ahmadiyah Telanjang bulat Dipanggung Sejarah, menuliskan kisah itu dengan judul ‘love Affair Mirza’. Dia menyebutnya ‘kisah 1001 malam’ dengan MGA sebagai majnunnya. Roman ini, mulanya ditulis oleh penulis india, Sheikh Abu Bakar Najar, dalam risalah Do You Know About Mirza in Love?
Alkisah, pada suatu hari, MGA yang sudah sakit-sakitan akibat diabetes, vertigo, gangguan penglihatan, dan lain-lain, melihat gadis bernama Muhammadi Begum. Dia putri paman ibu Mirza, Mirza Ahmad Beg. Jatuh cinta, MGA, yang telah beristri dua, melamar gadis itu. Tapi betapa terkejutnya nabi Mirza, karena lamarannya ditolak.
Buntutnya, MGA mengumumkan ‘wahyu’ yang susul-menyusul. Mulai yang berkonten persuasif, hingga mengancam dan mengultimatum. Tadzkirah hlm 157 menyatakan: “maka Allah menyatakan kepadaku, hendaklah engkau melamar perempuannya yang paling besar untukmu, dan katakanlah kepadanya (Ahmad Beg) agar dia menjadikan engkau sebagai menantu lebih dahulu….dan jika engkau tidak menerima (lamaranku) maka ketahuilah bahwa Allah telah mengabarkan kepadaku bahwa (kalau kamu) menikahkan anakmu dengan laki-laki lain, maka tidak diberkahi dan juga kepadamu (ahmad Beg). Dan jika kamu merasa takut, maka akan ditimpakan kepadamu bencana-bencana. Dan bencana yang paling akhir adalah kematianmu, kamu akan mati setelah pernikahan itu tiga tahun bahkan kematian itu lebih dekat, dan mati itu akan datang sedang kamu dalam keadaan lalai. Begitu pula suaminya akan mati setelah dua tahun enam bulan….”
Dalam Izalatil Auham hlm.396, Mirza mengumumkan ‘wahyu’: “Bahwa putri Ahmad Beg akan menjadi salah seorang istrinya, tetapi keluarganya akan menentangmu dan akan berusaha supaya perkawinanmu tidak terlaksana. Tapi jangan khawatir karena Allah akan memenuhi janjinya dan menyerahkan putri itu padamu, dan tak ada seorang pun sanggup menghalangi apa yang menjadi kehendak Allah.”
Karena orang tua gadis iut tak terpengaruh, turun lagi wahyu seperti tertulis di Asmani Risalat hlm 40: “Aku Allah telah menikahkan gadis itu padamu, hai mirza! Tak ada perubahan atas kata-kata-Ku….”
Di kitab Tukhfah Baghdad hlm. 28, MGA juga menulis wahyu: “bergembiralah engkau hai Mirza, bahwa Aku menikahkan engkau dan Aku telah kawinkan gadis itu dengan engkau.”
Karena wahyu-wahyu itu tak kesampaian, masyarakat mulai mengolog-olog MGA. MGA mengumumkan lalu ‘wahyu’ yang tercatat di Dafa Elwathawis hlm 228: “Biarlah mereka yang mengingkari kebenaran akan diperingatkan dan menyesali diri mereka, demikian ramalanku pasti tepat.”
‘wahyu’ terus turun, tapi Ahmad Beg memutuskan menikahkan putrinya dengan seorang pemuda, sultan Muhammad, MGA lalu menulis surat berisi permohonan dan peringatan yang dikirimkan kepada sejumlah keluarga gadis itu. Tapi, penolakan tak berkurang.
Bahkan, istri anaknya, juga menolak. Buntutnya, MGA meminta anaknya, Mirza Fadl menceraikan istrinya. Putra lainnya yang tidak menyukai cara-cara ayahnya, dihardik oleh Mirza dan tidak diberi hak waris. Peristiwa ini tertulis di Seeratul Mahdi hlm 22.
Pad 7 April 1892, ketika pengikut-pengikut MGA sedang asyik berdoa di masjid agar perkawinan batal, diluar masjid terjadi keramaian. Resepsi pernikahan Muhammadi dengan Sultan sedang berlangsung.
Meresponsnya, turun lagi ‘wahyu’ yang tercatat di Tadzkirah hlm 160-161: “ Sesungguhnya dia akan dijadikan seorang janda, dan suaminya serta bapaknya akan mati tiga tahun kemudian setelah hari pernikahan. Kemudian kami akan mengembalikannya kepadamu setelah kematian mereka berdua…”
Waktu terus bergulir. Sembilan tahun sudah usia pernikahan Muhammadi-sultan, dan tak terjadi apa-apa. Pada 1 Agustus 1901, MGA meunlis diharian Al Hakam Vol 5 No 29: Sesungguhnya gadis ini belum menjadi istriku, namun demikian jangan kira aku tidak akan mengawininya. Sebagaimana aku telah katakan sebelumnya. Dan barang siapa mencemooh aku, akan mendapat malu. Karena gadis ini masih hidup maka ia akan menemui aku dalam suatu perkawinan yang akan datang.”
Tahun 1908, MGA meninggal saat sedang di dalam WC (untuk buang air besar). Dia mengeluarkan semacam busa dari mulutnya. Seperti kita ketahui bawah para Nabi dan Rasul dikubur ditempat meninggalnya. Kalau Mirza Ghulam Ahmat itu nabi kira-kira gimana ya kalau dia dikubur di WC gitu ?. Adapun Muhammadi dan Sultan, tetap hidup. Bahkan Sultan ikut perang Dunia I. Dia memang mendapat luka-luka , tapi sembuh dan hidup bahagia bersama istrinya.
(diambil dari ahsinmuslim.wordpress.com dengan tambahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar